PERMAINAN ILEGAL
(Zina,
Homoseksual, Lesbian, dan Onani)
I.
PENDAHULUAN
Perzinaan
merupakan salah satu perbuatan yang menyalahi hukum, sehingga hasil perbuatan
tersebut membawa efek bukan hanya bagi si pelakunya, tetapi juga menyangkut
pihak lain, dalam hukum
Islam perbuatan zina merupakan perbuatan yang keji sehingga harus di hukum
dengan berat karena merusak sistem kemasyarakatan dan mengancam keselamatannya.
Zina merupakan pelanggaran atas sistem kekeluargaan, sedangkan keluarga
merupakan dasar untuk berdirinya masyarakat. Membolehkan zina berarti
membiarkan kekejian dan hal ini dapat meruntuhkan masyarakat.
Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai bagaimana pandangan
Fiqih Jinayah terhadap segala unsur perzinaan, sehingga dapat diambil
pelajaaran dan hikmah dari pembahasan tersebut.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Bagaimana Pandangan Fiqih Jinayah terhadap Perzinaan?
B.
Bagaimana Pandangan Fiqih Jinayah terhadap Homoseksual dan Lesbian?
C.
Bagaimana Pandangan Fiqih Jinayah terhadap Onani?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pandangan Fiqih Jinayah terhadap Perzinaan
Had zina berbeda menurut pelakunya. Pelaku zina dalam hukum pidana
Islam dibedakan menjadi dua bagian, ayitu pelaku muhshan dan ghoiru
muhshan. Muhshan adalah seseorang yang telah menikah dengan ikatan nikah
yang sah, merdeka, balig, dan berakal. Sedangkan ghoiru muhshan adalah
seseorang yang belum pernah menikah secara sah.
Had zina bagi pelaku ghairu muhshan adalah didera sebanyak
seratus kali, diasingkan dari negerinya selama satu tahun. Had ini berlaku bagi
laki-laki maupun perempuan. Hanya saja, apabila pengasingan dari negerinya
dapat mendatangkan madharat bagi wanita, maka ia tidak diasingkan.sebagaimana:
“Perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah,
dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan orang-orang yang beriman.” (Q.S An-Nur: 2)
Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah
SAW. melakukan pemukulan dan pengasingan terhadap pezina ghairu muhshan,
Abu Bakar juga melakukan pemukulan dan pengasingan terhadap pezina ghairu
muhshan, dan Umar bin Khattab juga melakukan pemukulan dan pengasingan
terhadap pezina ghairu muhshan”.[1]
Selanjutnya, bagi orang yang sudah menikah (muhshan)
hukumannya menurut para ahli hukum Islam adalah rajam (dilempari batu) sampai
mati.[2]
Hukuman ini didasarkan pada hadits Nabi:
خذوا عنّي قد جعل اللّه لهنّ سبيلا البكر
بالبكر جلد مائة و نفي سنة والثّيّب بالثّيّب جلد مائة والرجم
Ketahuilah, sesungguhnya Allah telah memeberikan jalan untuk
mereka. untuk jejaka dan perawan dihukum dengan seratus kali pukulan dan
diasingkan setahun lamanya. Dan untuk janda dan duda dihukum dengan pukulan
seratus kali dan rajam. (H.R. Muslim,
Abu Daud dan Tirmidzi)
Jika pelaku zina adalah budak, ia didera setengah dari orang
merdeka, yaitu lima puluh dera. Ia tidak diasingkan karena dapat mendatangkan
kerugian bagi pemiliknya.[3]
Para Ulama’ telah sepakat atas keharaman bersetubh dengan hewan
(bertialiti). Akan tetapi mereka masih berbeda pendapat dalam menentukan
hukuman atas orang yang bersetubuh dengan hewan tersebut.
Diriwayatkan dari Jabir bi Zaid bahwa Ia berkata “Barang siapa
bersetubuh dengan hewan maka dia harus di hadd.”
Diriwayatkan dari Ali bahwa Ia berkata: “Jika yang bersetubuh
dengan hewan itu orang muhsan, maka ia harus di rajam.”
Diriwayatkan dari Hasan bahwa bersetubuh dengan hewan itu sama dengan berzina.
Abu Hanifah, Malik, Syafi’i (dalam satu pendapat), Muayyad Billah,
Nashir, dan Imam Yahya mengatakan bahwa orang yang bersetubuh dengan hewan
hanyalah wajib diberi sanksi saja. Karena perbuatan itu bukan perbuatan zina.
Akan tetapi Imam Syafi’i (dalam pendapat yang lain) mengatakan
bahwa orang yang berhubungan kelamin dengan hewan harus dibunuh. Pendapat ini
berdasarkan pada Hadits dengan sanad Amr bin Abi Amr, dari Ikrimah, dari Ibnu
Abbas, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ وَقَعَ عَلَى بَهِيْمَةٍ فَاقْتُلُوْهُ
وَاقْتُلُوْا الْبَهِيْمَةَ
“Barang siapa berhubungan kelamin dengan
hewan, maka bunuhlah ia dan bunuhlah (pula) hewannya”.
Dalam kitab Al-Bahr disebutkan bahwa hewan yang disetubuhi itu
harus dibunuh, meskipun termasuk jenis hewan yang dagingnya haram dimakan. Ini
dikerjakan agar hewan tersebut tidak menurunkan anak yang mempunyai kelainan,
sebagaimana suatu cerita tentang seorang gembala yang berhubungan kelamin
dengan hewan, kemudian hewan tersebut menurunkan anak yang mempunyai kelainan.[4]
B.
Pandangan Fiqih Jinayah terhadap Homoseksual dan Lesbian
Istilah homoseksual berasal dari Bahasa Inggris “Homosexsual”, yang
berarti sifat laki-laki yang senang berhubungan seks dengan sesamanya.
Sedangkan lesbian, berarti sifat perempuan yang senang berhubungan seks dengan
sesamanya pula.
Istilah homoseksual dijumpai dalam agama Islam sebagai istilah اللِّوَاطُ yang pelakunya disebut اللُّوطِىُّ yang dapat diartikan
secara singkat oleh bangsa Arab dengan perkataan: الرَّجُلُ يَأْتِى الرَّجُلَ (laki-laki mengumpuli laki-laki lain).
Sedangkan istilah lesbian, juga dijumpai dalam agama Islam sebagai istilah السَّحَاقُ yang pelakunya disebut السَّاحِقُ yang dapat diartikan secara singkat oleh
bangsa arab dengan perkataan المَرْأَةُ
تَأْتِى المَرْأَةَ (perempuan
mengumpuli perempuan lain).
Maka dalam hal ini, dapat ditarik suatu pengertian, bahwa
homoseksual adalah kebiasaan seorang laki-laki melampiaskan nafsu seksualnya
pada sesamanya. Sedangkan lesbian adalah kebiasaan seorang perempuan melampiaskan
nafsu seksualnya pada sesamanya pada sesamanya pula.[5]
Para ahli hukum fiqih sekalipun telah sepakat mengharamkan homoseksual,
tetapi mereka berbeda pendapat tentang hukumannya.
1)
Pendapat pertama antara lain Imam Syafi’i, pasangan homoseksual
dihukum mati, berdasarkan hadits Nabi, riwayat Khomsah (lima ahli hadits
kecuali An-Nasa’i) dari Ibnu Abbas:
مَنْ وَجَدْ تُمُوْهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوْطٍ فَاقْتُلُوْا اْلفَاعِلَ
وَاْلمَفْعُوْلَ بِهِ
“Barang siapa menjumpai orang yang berbuat
homosek seperti praktek kaum Luth, maka bunuhlah si pelaku dan yang
diperlakukannya (pasangannya).
Menurut Al-Mundziri, Kholifah Abu Bakar dan Ali pernah menghukum
mati terhadap pasangan homosek.
2)
Pendapat kedua antara lain Al-Auzai, Abu Yusuf dan lain-lain,
hukumannya disamakan dengan hukuman zina, yakni hukuman dera dan pengasingan
untuk yang belum kawin, dan dirajam untuk pelaku yang sudah kawin, berdasarkan
Hadits Nabi:
إِذَا أَتَى الرَّجُلُ الرَّجُلَ فَهُمَا زَانِيَانِ
“apabila seorang pria melakukan hubungan seks
dengan pria lain, maka kedua-duanya adala berbuat zina.”
Pendapat kedua ini sebenarnya memakai qiyas di dalam
menetapkan hukumannya.
3)
Pendapat ketiga antara lain Abu Hanifah, pelaku homosek dihukum
takzir, sejenis hukuman yang bertujuan edukatif, dan besar ringannya
hukuman tajzir diserahkan kepada pengadilan (hakim). Hukuman takzir dijatuhkan
terhadap kejahatan atau pelanggaran yang tidak ditentukan macam dan kadar
hukumannya oleh Nash Al-Qur’an dan Hadits.[6]
Mengenai perbuatan lesbian, para ahli fiqih juga sepakat
menharamkanny, berdasarkan Hadits Nabi riwayat Ahmad, Abu Daud, Muslim dan
Al-Tirmidzi:
لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ اِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلَاالْمَرْأَةُ اِلَى
عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلَا يَغُضُّ الرَّجُلُ اِلَى الرَّجُلُ فِيْ الثَّوْبِ الْوَاحِدِ
وَلَا تَغُضُّ الْمَرْأَةُ اِلَى الْمَرْاَةِ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ.
“Lelaki
tidak boleh melihat aurat lelaki, perempuan tidak boleh melihat aurat
perempuan. Lelaki tidak boleh berkumpul dengan lelaki lain dalam satu kain,
perempuan juga tidak boleh berkumpul dengan perempuan lain dalam satu kain.
Menurut Sayid Sabiq, lesbian ini dihukum takzir, suatu hukuman yang
macam dan berat ringannya diserahkan
kepada pengadilan. Jadi hukumannya lebih ringan dari pada homoseksual karena
bahaya atau resikonya lebih ringan dibandingkan dengan bahaya homoseksual,
karena lesbian itu bersentuhan langsung tanpa memasukkan alat kelaminnya
seperti halnya seorang pria bersentuhan langsung (pacaran) dengan wanita bukan
istrinya tanpa memasukkan penisnya ke dalam vagina. Perbuatan semacam ini tetap
haram, sekalipun bukan zina, tetapi dapat dikenakan hukuman takzir seperti
lesbian.[7]
Praktek homoseksual itu terjadi semenjak dahulu kala hingga
sekarang ini. Tetapi praktek lesbian tidak keterangannya dalam Al-Qur’an, namun
hingga sekarang ini meraja lela di masyarakat sekuler atau Negara Barat.
Praktek tersebut tidak
dilarang oleh undang-undang di Negara yang berfaham sekuler, dan tidak
dikategorikan sebagai pelanggaran tata susila. Dan kalau pun ada larangan bagi
mereka, itu hanya bertujuan untuk memberantas kemungkinan terjadinya beberapa
macam penyakit yang sering timbul dari praktek homoseksual dan lesbian,
misalnya penyakit kanker kelamin, AIDS dan sebagainya. Oleh karena itu, praktek
homoseksual dan lesbian paling menonjol di Negara Barat, yang resiko penyakit
yang ditimbulkannya, sampai menular ke Negara Timur, lewat touris-touris
mereka.[8]
C.
Pandangan Fiqih Jinayah terhadap Onani
Istilah masturbasi berasal dari bahasa Inggris “masturbation”. Dan
juga dibicarakan oleh ahli hukum Islam, yang disebutnya sebagai istilah
al-istimnau (الإِسْتِمْنَاءُ),
yang berarti onani atau perancapan. Kata ini, sebenarnya berasal dari isim (kata
benda) Al-maniu (المَنِيُّ)
air mani, kemudian dialihkan menjadi fi’il (kata kerja) إِسْتِمْنَى- يَسْتَمْنِى, lalu menjadi إِسْتِمْنَاءًyang berarti mengeluarkan air mani. Tetapi sebenarnya pengertiam
masturbasi (onani), adalah mengeluarkan air mani dengan cara menggunakan salah
satu anggota badan (misalnya tangan), untuk mendapatkan kepuasan seks.
Ulama hukum Islam berbeda pendapat dalam menetapkan kepastian hukum
tentang perbuatan masturbasi, karena mereka berbeda tinjauan dalam memandang
hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya perbuatan tersebut. Maka berikut ini
dapat dikemukakan beberapa macam pendapat Ulama’ Hukum, yaitu:
a.
Pengikut Madzhab Malikiyah, Syafiiyah dan Zaidiyah, mengatakan:
perbuatan masturbasi hukumnya haram, karena Allah SWT memerintahkan agar selalu
menjaga alat kelaminnya supaya tidak tersalurkan ke jalan yang haram. Pendapat
ini didasarkan pada tiga ayat yang berbunyi mu’minun ayat 5,6,7.
tûïÏ%©!$#ur öNèd öNÎgÅ_rãàÿÏ9 tbqÝàÏÿ»ym ÇÎÈ wÎ) #n?tã öNÎgÅ_ºurør& ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNåkß]»yJ÷r& öNåk¨XÎ*sù çöxî úüÏBqè=tB ÇÏÈ Ç`yJsù 4ÓxötGö/$# uä!#uur y7Ï9ºs y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrß$yèø9$# ÇÐÈ
Dan
orang-orang yang menjaga kemaluannya (5), kecuali terhadap isteri-isteri mereka
atau budak yang mereka miliki, Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada
terceIa (6) Barangsiapa mencari yang di balik itu, Maka mereka Itulah
orang-orang yang melampaui batas (7)
b.
Pengikut Madzhab Hanabilah, mengatakan: perbuatan masturbasi
hukumnya haram dan diperbolehkan dalam agama bila seseorang bermaksud untuk
terhindar dari dorongan libido yang mengarah pada perzinaan.
c.
Imam Ibnu Hazm, mengatakan: perbuatan masturbasi hukumnya makruh,
dan kalau dilakukannya karena menghindari perbuatan zina misalnya maka agama
membolehkannya, asalkan dilakukan dengan menggunakan tangan kiri. Pendapat ini
didasarkan pada pendapat para sahabat dan tabiin antara lain:
1)
Ibnu Umar dan Athaa menetapkan hukumnya makruh
2)
Ibnu Abas, al-Hasan dan beberapa Ulama’ pembesar tabiin hukumnya
boleh.
d.
Pengikut Madzhab Hanafiah, mengatakan: perbuatan masturbasi pada
prinsipnya haram, tetapi kadang-kadang wajib bila dilkukan untuk menghindari
perbuatan zina. Karena upaya menghindari perbuatan tersebut hukumnya wajib.[9]
IV.
KESIMPULAN
Pelaku zina dalam hukum pidana Islam dibedakan menjadi dua bagian, yaitu
pelaku muhshan dan ghoiru muhshan. Muhshan adalah seseorang yang
telah menikah dengan ikatan nikah yang sah. Sedangkan ghoiru muhshan adalah
seseorang yang belum pernah menikah secara sah.
Had zina bagi pelaku ghairu muhshan adalah didera sebanyak
seratus kali, diasingkan dari negerinya selama satu tahun. Sedangkan bagi orang
yang sudah menikah (muhshan) hukumannya menurut para ahli hukum Islam
adalah rajam (dilempari batu) sampai mati.
Para Ulama’ telah sepakat atas keharaman bersetubuh dengan hewan
(bertialiti). Akan tetapi mereka masih berbeda pendapat dalam menentukan
hukuman atas orang yang bersetubuh dengan hewan tersebut.
Homoseksual berarti sifat laki-laki yang senang berhubungan seks
dengan sesamanya. Sedangkan lesbian, berarti sifat perempuan yang senang
berhubungan seks dengan sesamanya pula. Para ahli hukum fiqih sekalipun telah
sepakat mengharamkan homoseksual, tetapi mereka berbeda pendapat tentang
hukumannya. Mengenai perbuatan lesbian, para ahli fiqih juga sepakat
menharamkannya.
Masturbasi (onani), adalah mengeluarkan air mani dengan cara
menggunakan salah satu anggota badan (misalnya tangan), untuk mendapatkan
kepuasan seks. Ulama hukum Islam berbeda pendapat dalam menetapkan kepastian
hukum tentang perbuatan masturbasi, karena mereka berbeda tinjauan dalam
memandang hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya perbuatan tersebut.
V. PENUTUP
Demikian makalah ini kami
buat. Kami menyadari dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak
kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Aibak, Kutbuddin, Kajian Islam Kontemporer, Yogyakarta:
Teras, 2009
Al-Faruq,
Abdulloh , Hukum Pidana Dalam Hukum Islam, Bogor: Ghalia Indonesia, 2009
Mahjudin, Masailul Fiqhiyah, Jakarta: Kalam Mulia, 1990
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Bandung: Al-Ma’arif,t.th
Santoso,
Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2003
Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyah, Jakarta: Haji Masagung,
1991
[2] Topo Santoso, Membumikan
Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. 24
[3] Abdulloh
Al-Faruq, Hukum Pidana Dalam Hukum Islam, hlm. 60
[5] Mahjudin, Masailul
Fiqhiyah, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), hlm. 19-20
[6] Masjfuk Zuhdi,
Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Haji Masagung, 1991), hlm. 43-44
[7] Kutbuddin
Aibak, Kajian Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 99
[8] Mahjuddin,
Masailul Fiqhiyah, hlm. 24
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus