Minggu, 19 Mei 2013

makalah



SUMBANGAN UMAT ISLAM DALAM PENYUSUNAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA

A.    Proses Terbentuknya Undang-Undang Dasar Negara
Perjuangan bangsa Indonesia untuk merdeka tidak hanya mengandalkan fisik, seperti laskar, sukarelawan dan militer. Tetapi lebih jauh juga mempersiapkan perangkat lain jika terbentuk Indonesia merdeka. Perangkat tersebut ialah Undang-Undang Dasar. Bagi suatu Negara, Undang-Undang Dasar adalah pedoman bernegara dan berbangsa. Undang-Undang tersebut disusun dengan menghimpun segenap pemikiran dari putra bangsa Indonesia. Mereka terdiri dari ulama, sarjana berpendidikan Barat, pemikiran Islam dari Timur Tengah dan para pemikir Islam yang otodidak. Oleh karena para pejuang kemerdekaan telah mempersiapkan Undang-Undang Dasar Negara yang akan merdeka tersebut sebelum tanggal 17 Agustus 1945. Panitia itu disebut dengan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Badan ini beranggotakan 9 (sembilan) orang, maka lebih dikenal dengan sebutan Panitia Sembilan.[1]
BPUPKI dibentuk tanggal 9 April 1945 dan dilantik tanggal 28 Mei 1945 dengan anggota sebanyak 68 orang, termasuk tokoh-tokoh Islam anggota BPUPKI tersebut antara lain KHA. Sanusi, Ki Bagus Hadikusumo, KH, Mas Mansyur, Abdul Kahar Muzakir, KH. Wahid Hasyim, KH. Masykur, Sukirman Wirjosandjojo, Abikusumo Tjokrosujoso, H. Agus Salim, KH. Abdul Halim.
Sehari setelah pengurus BPUPKI dilantik, maka badan ini mulai mengadakan sidang-sidang di bawah pimpinan ketuanya yaitu dr. KRT Radjiman Wediodiningrat.[2] Seluruh proses persidangan BPUPKI ini dapat dibagi dalam 2 (dua) masa persidangan, yaitu: Masa Persidangan I berlangsung dari tanggal 29 Mei sampai dengan tanggal 1 Juni 1945, dan Masa Persidangan II berlangsung dari tanggal 10 sampai dengan tanggal 16 Juli 1945, yang diselenggarakan di Gedung Tyuoo Sangi-in (sekarang Gedung Pejambon) Jakarta.
Substansi dan inti pembahasan dalam Masa Persidangan I menitikberatkan pada pembahasan tentang landasan filosofi, yakni dasar Negara Indonesia.
Masa Persidangan I yang berlangsung selama 4 hari dari tanggal 29 Mei sampai dengan I Juni 1945 ini seluruhnya merupakan masa sidang pleno yang dipimpin secara langsung oleh Ketua BPUPKI. Yang membahas masalah antara lain, bentuk Negara, falsafah Negara dan hal lain yang berkaitan dengan konstitusi. Pada sidang ini terjadi diskusi yang panjang terutama tentang dasar Negara. Masing-masing tokoh secara terbuka mengemukakan pendapat mereka. [3]
Akhirnya masalah dasar Negara ini diserahkan kepada “Panitia Sembilan”. Panitia Sembilan ini adalah Lima orang mewakili golongan nasionalis “sekuler” (Ir. Soekarno, Muhammad Hatta, Muhammad Yamin A.A. Maramis, dan Subardjo) dan empat orang lainnya mewakili Islam (Abdul Kahar Muzakkir, A. Wahid Hasyim, H. Agus Salim,  dan Abikusumo Tjorosujoso).[4] Panitia Sembilan ini pun melakukan diskusi yang cukup lama, sehingga menghasilkan kompromi pada tanggal 22 Juni 1945 berhasil menyetujui rumusan yang dikenal dengan istilah Piagam Jakarta, yang mencantumkan keharusan menjalankan syari’at agama Islam bagi pemeluknya di dalam negara Indonesia yang merdeka.[5] Seperti di dalam rumusan, bahwa Sila Pertama yaitu sila Ketuhanan diikuti dengan kalimat “…dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya”.
Sedangkan Substansi dan inti pembahasan dalam Masa Persidangan II menitikberatkan pada pembahasan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Masa persidangan selama 7 hari dari tanggal 10 sampai 16 Juli 1945. Maka selesailah tugas BPUPKI dan rumusan yang dihasilkan badan ini diterima secara aklamasi pada tanggal 16 Juli 1945.[6]
Hasil sidang yang sudah disahkan oleh seluruh anggota BPUPKI tersebut mendapat  perubahan sehari setelah diproklamirkan kemerdekaan RI. Beberapa menit sebelum sidang PPKI dimulai, Muhammad Hatta telah mengundang beberapa tokoh Islam, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singidimedjo, Wahid Hasyim, dan TM Hasan untuk membicarakan permintaan dari golongan Nasrani di Indonesia Timur, yaitu  agar kata-kata “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam” yang tercantum dalam Piagam Jakarta dihapus. Konon, M. Hatta menerima pesan tersebut dari seorang opsir Jepang yang memberitahukan bahwa rakyat Indonesia Timur, yang beragama Nasrani, tidak akan bergabung dengan NKRI jika tujuh kata tersebut tidak dihapus.[7] Latuharhary, tokoh Protestan dan anggota Badan Penyelidik menyatakan “Akibatnya mungkin besar, terutama terhadap agama lain”. Panitia Sembilan juga dikirimi telegram bahwa apabila mereka akan mengadakan Negara Islam, maka akan didirikan Negara Kristen. Panitia Sembilan yang sudah menentukan redaksi Pancasila dalam Piagam Jakarta, mengadakan pertemuan kembali. Karena kebijaksanaa pada saat itu mendahulukan persatuan, maka rela menghapus “tujuh kata” itu demi persatuan dan kesatuan bangsa.[8]
Dalam pembicaraan yang berlangsung singkat tetapi sukup hangat itu, dengan segala toleraninya, para tokoh Islam menerima rumusan baru Piagam Jakarta yang telah dikurangi tujuh katanya dengan pengertian bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi salah satu landasan kerakyatan sebagaimana yang tercantum pada pasal 29 batang tubuh UUD 45 yang memiliki pengertian Tauhid sebagaimana diyakini dalam ajaran Islam.
 Peristiwa inilah yang dipandang sebagai salah satu bukti kebesaran jiwa juang dan toleransi umat Islam. Atas dasar itu pulalah Menteri Agama RI Alamsyah Ratu Perwiranegara menyebut hal itu sebagai hadiah umat Islam kepada bangsa Indonesia demi menjaga persatuan dan keutuhan bangsa.[9]
B.     Peranan Tokoh Islam Dalam Merumuskan UUD 45
Para tokoh Islam telah menunjukan baktinya kepada bangsa Indonesia jauh sebelum Indonesia merdeka. Sikap anti penjajah yang ditunjukkan oleh para Kyai dan Da’i Islam sebagai bukti, bahwa umat tidak memisahkan antara agama yang dianutnya. Umat Islam menyadari sepenuhnya betapa pentingnya kemerdekaa bagi suatu bangsa. Bahkan jauh sebelum SDI dan SI didirikan, perjuangan menurut hak Indonesia merdeka ditempuh oleh para pejuang Islam melalui perang fisik. Hal itu dibuktikan melalui peristiwa Perang Aceh, Perang Padri, Perang Diponegoro, Perang Makasar, dan Perang Banten.
Umat Islam memang gigih memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari agrari Belanda yang datang dengan bantuan tentara sekutu untuk kembali menjajah Indonesia. Tokoh-tokohnya duduk dalam posisi-posisi politik penting, baik dalam kabinet maupun memimpin perjuangan fisik dan diplomatik. Sementara itu, rakyat Indonesia terlibat langsung dalam perang fisik. para ulama di kampung-kampung menyerukan perang jihad fi sabilillah. rakyat berjuang dengan meneriakan Allahu Akbar, sampai kemerdekaan penuh Indonesia tercapai.[10]
Adalah suatu hal yang wajar, ketika Indonesia merumuskan Undang-Undang Dasar pemikiran para Ulama dan tokoh Islam memiliki peranan yang sangat besar. Salah satu bukti keterlibatan tokoh Islam dalam penyusunan Undang-Undang Dasar ialah perdebatan yang panjang ketika merumuskan dasar Negara. Perdebatan tersebut merupakan konsep tentang dasar Negara. Mustahil hal itu mampu dilakukan bila seseorang bukanlah negarawan atau berpengetahuan luas tentang ketatanegeraan.
Bukti lain yang menunjukkkan besarnya partisipasi umat Islam dalam penyusunan UUD 45 dapat dilihat dari susunan Panitia 9 yang bertugas merumuskan Dasar Negara dan Undang-Undang Dasar Negara. 8 orang diantaranya beragama Islam (Ir. Soekarno, M. Hatta, Abikusno Tjokrosuyoso, Abdul Kahar Murzakir, Agus Salim, Achmad Subardjo, KH. Wahid Hasyim, dan Muhammad Yamin). Meskipun ada yang berlatarbelakang Ulama dan  ada yang dibesarkan melalui Sekolah Belanda, seperti Soekarno dan M. Hatta, tetapi hal itu telah membuktikan, bahwa lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 merupakan jerih payah para pejuang dan tokoh Islam.[11]
Ungkapan istilah Yang Maha Esa merupakan implikasi dari tauhid yang menjadi jiwa agama Islam. Indonesia menjadi dasar yang kuat dari akidah tauhid, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 29 ayat 2: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan itu”.
Dari penegasan pasal itu dapat disimpulkan bahwa meskipun Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi bukan merupakan Negara agama, karena rakyat diberi kebebasan beragama, dan bukan pula Negara sekuler. Dengan demikian, tiap-tiap agama di Indonesia dapat berkembang dengan bebas, namun masih terikat dengan wadah Negara Republik Indonesia. Adanya berbagai macam agama tidak menghambat kesatuan dan persatuan.[12]
Bukti lain dari pengaruh Islam tercermin dari diri Bung Karno bahwa begitu kental menyebut takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menghormati agama-agama lain, agar bertuhan menurut agamanya masing-masing, juga menyebutkan bahwa “Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, bahwa : Prinsip kelima daripada Negara kita ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, ketuhanan yang hormat menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesi merdeka berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Hal tersebut diletakkan sebagai sila yang pertama. Sila I memiliki prinsip teologi yang menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah homo-religiosi, bangsa yang beragama. Meskipun nilai ketuhanan merupakan hal yang harus dijunjung tinggi, bangsa Indonesia tidak hidup dalam situasi yang bersifat teologi semata. Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa betapa besar pengaruh Islam terhadap diri Bung Karno dan sekaligus terhadap lahirnya sila yang pertama dari Pancasila.[13]
Peristiwa ini menunjukkan, umat Islam telah memahami akan arti persatuan sebagai syarat mutlak bagi tarbinanya kemaslahatan seperti halnya “Piagam Madinah” yang dibuat oleh Rasul karena adanya suatu pertimbangan bahwa “sesuatu yang tidak dapat dicapai seluruhnya, tidak boleh ditinggalkan”, dan juga atas pertimbangan “kemaslahatan yang general didahulukan atas kemaslahatan special”.
Kemaslahatan umum di sini ialah menegakkan berdirinya RI, berdaulatan yang berdasarkan Pancasila, prinsip-prinsip yang dapat ditampung kebenarannya oleh Al-Qur’an dan Sunnah, dan memberikan landasan kuat terlaksananya ajaran-ajaran Islam, sedang kemaslahatan khusus  ialah cita-cita kaum muslim untuk mendirikan masyarakat yang seutuhnya diatur oleh Al-Qur’an dan Sunnah.[14]
Dengan demikian, jelaslah begitu besar sumbangan umat Islam terhadap penyusunan Undang-Undang Dasar Negara, sehingga lahirlah kemerdekaan Indonesia secara utuh dan sehingga kemerdekaannya dapat kita nikmati hingga sekarang. Dan kita sebagai generasi muda patut mengapresiasi atas perjuangan tokoh-tokoh Islam dalam memperjuangan kemerdekaan.

DAFTAR PUSTAKA

Al Marsudi, Subandi, 2006, Pancasila dan UUD 45 Dalam Paradima Reformasi, Jakarta: Rajagrafindo Persada
Departeman Agama RI, 2000, Sejarah Kebudayaan Islam, jilid III, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama,
Hardjono, 2009, Legitimasi Perubahan Konstitusi, Yogyakata: Pustaka Pelajar
Karim, M. Abdul, 2004, Menggali Muatan Pancasila Dalam Perspektif Islam, Jogyakarta: Surya Raya
----------------------, 2007, Islam Nusantara, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher
Sunanto, Musyrifah, 2010, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajagrafinda Persada
Syukur, Fatah,2009, Sejarah Peradaban Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra
Yatim, Badri, 2008, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada




[1]Departeman Agama RI, Sejarah Kebudayaan Islam, jilid III, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 2000), hlm. 15
[2] Hardjono, Legitimasi Perubahan Konstitusi, (Yogyakata:Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 65
[3]Subandi Al Marsudi, Pancasila dan UUD 45 Dalam Paradima Reformasi, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006), hlm. 19
[4]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2008), hlm. 264
[5]Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajagrafinda Persada, 2010), hlm. 52
[6]Subandi Al Marsudi, Pancasila dan UUD 45 Dalam Paradima Reformasi, hlm.  25
[7]Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,2009), hlm. 241
[8]M. Abdul Karim, Menggali Muatan Pancasila Dalam Perspektif Islam, (Jogyakarta: Surya Raya, 2004),  hlm. 67
[9] Departemen Agama RI, Sejarah Kebudayaan Islam, jilid III, hlm. 16
[10] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 267
[11] Departemen Agama RI, Sejarah Kebudayaan Islam, jilid III, hlm. 16-17
[12]M. Abdul Karim, Menggali Muatan Pancasila Dalam Perspektif Islam, hlm. 65-66
[13] M. Abdul Karim, Islam Nusantara, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hlm. 92-94
[14]M. Abdul Karim, Islam Nusantara,  hlm. 102-104

Tidak ada komentar:

Posting Komentar