SUMBANGAN UMAT ISLAM DALAM PENYUSUNAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA
A.
Proses Terbentuknya Undang-Undang Dasar Negara
Perjuangan bangsa Indonesia untuk merdeka tidak hanya mengandalkan
fisik, seperti laskar, sukarelawan dan militer. Tetapi lebih jauh juga
mempersiapkan perangkat lain jika terbentuk Indonesia merdeka. Perangkat
tersebut ialah Undang-Undang Dasar. Bagi suatu Negara, Undang-Undang Dasar
adalah pedoman bernegara dan berbangsa. Undang-Undang tersebut disusun dengan
menghimpun segenap pemikiran dari putra bangsa Indonesia. Mereka terdiri dari
ulama, sarjana berpendidikan Barat, pemikiran Islam dari Timur Tengah dan para
pemikir Islam yang otodidak. Oleh karena para pejuang kemerdekaan telah
mempersiapkan Undang-Undang Dasar Negara yang akan merdeka tersebut sebelum
tanggal 17 Agustus 1945. Panitia itu disebut dengan Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Badan ini beranggotakan 9 (sembilan)
orang, maka lebih dikenal dengan sebutan Panitia Sembilan.[1]
BPUPKI dibentuk tanggal 9 April 1945 dan dilantik tanggal 28 Mei
1945 dengan anggota sebanyak 68 orang, termasuk tokoh-tokoh Islam anggota
BPUPKI tersebut antara lain KHA. Sanusi, Ki Bagus Hadikusumo, KH, Mas Mansyur,
Abdul Kahar Muzakir, KH. Wahid Hasyim, KH. Masykur, Sukirman Wirjosandjojo,
Abikusumo Tjokrosujoso, H. Agus Salim, KH. Abdul Halim.
Sehari setelah pengurus BPUPKI dilantik, maka badan ini mulai
mengadakan sidang-sidang di bawah pimpinan ketuanya yaitu dr. KRT Radjiman
Wediodiningrat.[2] Seluruh proses persidangan BPUPKI ini dapat dibagi dalam 2 (dua)
masa persidangan, yaitu: Masa Persidangan I berlangsung dari tanggal 29 Mei
sampai dengan tanggal 1 Juni 1945, dan Masa Persidangan II berlangsung dari
tanggal 10 sampai dengan tanggal 16 Juli 1945, yang diselenggarakan di Gedung
Tyuoo Sangi-in (sekarang Gedung Pejambon) Jakarta.
Substansi dan inti pembahasan dalam Masa Persidangan I
menitikberatkan pada pembahasan tentang landasan filosofi, yakni dasar Negara
Indonesia.
Masa Persidangan I yang berlangsung selama 4 hari dari tanggal 29
Mei sampai dengan I Juni 1945 ini seluruhnya merupakan masa sidang pleno yang
dipimpin secara langsung oleh Ketua BPUPKI. Yang membahas masalah antara lain,
bentuk Negara, falsafah Negara dan hal lain yang berkaitan dengan konstitusi.
Pada sidang ini terjadi diskusi yang panjang terutama tentang dasar Negara.
Masing-masing tokoh secara terbuka mengemukakan pendapat mereka. [3]
Akhirnya masalah dasar Negara ini diserahkan kepada “Panitia
Sembilan”. Panitia Sembilan ini adalah Lima orang mewakili golongan nasionalis
“sekuler” (Ir. Soekarno, Muhammad Hatta, Muhammad Yamin A.A. Maramis, dan
Subardjo) dan empat orang lainnya mewakili Islam (Abdul Kahar Muzakkir, A.
Wahid Hasyim, H. Agus Salim, dan Abikusumo
Tjorosujoso).[4] Panitia Sembilan ini pun melakukan diskusi yang cukup lama,
sehingga menghasilkan kompromi pada tanggal 22 Juni 1945 berhasil menyetujui rumusan
yang dikenal dengan istilah Piagam Jakarta, yang mencantumkan keharusan
menjalankan syari’at agama Islam bagi pemeluknya di dalam negara Indonesia yang
merdeka.[5] Seperti di dalam rumusan, bahwa Sila Pertama yaitu sila Ketuhanan
diikuti dengan kalimat “…dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluknya”.
Sedangkan Substansi dan inti pembahasan dalam Masa Persidangan II
menitikberatkan pada pembahasan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Masa
persidangan selama 7 hari dari tanggal 10 sampai 16 Juli 1945. Maka selesailah
tugas BPUPKI dan rumusan yang dihasilkan badan ini diterima secara aklamasi
pada tanggal 16 Juli 1945.[6]
Hasil sidang yang sudah disahkan oleh seluruh anggota BPUPKI
tersebut mendapat perubahan sehari
setelah diproklamirkan kemerdekaan RI. Beberapa menit sebelum sidang PPKI
dimulai, Muhammad Hatta telah mengundang beberapa tokoh Islam, yaitu Ki Bagus
Hadikusumo, Kasman Singidimedjo, Wahid Hasyim, dan TM Hasan untuk membicarakan
permintaan dari golongan Nasrani di Indonesia Timur, yaitu agar kata-kata “dengan kewajiban menjalankan
syari’at Islam” yang tercantum dalam Piagam Jakarta dihapus. Konon, M. Hatta
menerima pesan tersebut dari seorang opsir Jepang yang memberitahukan bahwa
rakyat Indonesia Timur, yang beragama Nasrani, tidak akan bergabung dengan NKRI
jika tujuh kata tersebut tidak dihapus.[7] Latuharhary, tokoh Protestan dan anggota Badan Penyelidik
menyatakan “Akibatnya mungkin besar, terutama terhadap agama lain”. Panitia
Sembilan juga dikirimi telegram bahwa apabila mereka akan mengadakan Negara
Islam, maka akan didirikan Negara Kristen. Panitia Sembilan yang sudah
menentukan redaksi Pancasila dalam Piagam Jakarta, mengadakan pertemuan
kembali. Karena kebijaksanaa pada saat itu mendahulukan persatuan, maka rela
menghapus “tujuh kata” itu demi persatuan dan kesatuan bangsa.[8]
Dalam pembicaraan yang berlangsung singkat tetapi sukup hangat itu,
dengan segala toleraninya, para tokoh Islam menerima rumusan baru Piagam Jakarta
yang telah dikurangi tujuh katanya dengan pengertian bahwa Ketuhanan Yang Maha
Esa menjadi salah satu landasan kerakyatan sebagaimana yang tercantum pada
pasal 29 batang tubuh UUD 45 yang memiliki pengertian Tauhid sebagaimana
diyakini dalam ajaran Islam.
Peristiwa inilah yang
dipandang sebagai salah satu bukti kebesaran jiwa juang dan toleransi umat
Islam. Atas dasar itu pulalah Menteri Agama RI Alamsyah Ratu Perwiranegara
menyebut hal itu sebagai hadiah umat Islam kepada bangsa Indonesia demi menjaga
persatuan dan keutuhan bangsa.[9]
B.
Peranan Tokoh Islam Dalam Merumuskan UUD 45
Para tokoh Islam telah menunjukan baktinya kepada bangsa Indonesia
jauh sebelum Indonesia merdeka. Sikap anti penjajah yang ditunjukkan oleh para
Kyai dan Da’i Islam sebagai bukti, bahwa umat tidak memisahkan antara agama
yang dianutnya. Umat Islam menyadari sepenuhnya betapa pentingnya kemerdekaa
bagi suatu bangsa. Bahkan jauh sebelum SDI dan SI didirikan, perjuangan menurut
hak Indonesia merdeka ditempuh oleh para pejuang Islam melalui perang fisik.
Hal itu dibuktikan melalui peristiwa Perang Aceh, Perang Padri, Perang
Diponegoro, Perang Makasar, dan Perang Banten.
Umat Islam memang gigih memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari
agrari Belanda yang datang dengan bantuan tentara sekutu untuk kembali menjajah
Indonesia. Tokoh-tokohnya duduk dalam posisi-posisi politik penting, baik dalam
kabinet maupun memimpin perjuangan fisik dan diplomatik. Sementara itu, rakyat
Indonesia terlibat langsung dalam perang fisik. para ulama di kampung-kampung
menyerukan perang jihad fi sabilillah. rakyat berjuang dengan meneriakan Allahu
Akbar, sampai kemerdekaan penuh Indonesia tercapai.[10]
Adalah suatu hal yang wajar, ketika Indonesia merumuskan
Undang-Undang Dasar pemikiran para Ulama dan tokoh Islam memiliki peranan yang
sangat besar. Salah satu bukti keterlibatan tokoh Islam dalam penyusunan
Undang-Undang Dasar ialah perdebatan yang panjang ketika merumuskan dasar
Negara. Perdebatan tersebut merupakan konsep tentang dasar Negara. Mustahil hal
itu mampu dilakukan bila seseorang bukanlah negarawan atau berpengetahuan luas
tentang ketatanegeraan.
Bukti lain yang menunjukkkan besarnya partisipasi umat Islam dalam
penyusunan UUD 45 dapat dilihat dari susunan Panitia 9 yang bertugas merumuskan
Dasar Negara dan Undang-Undang Dasar Negara. 8 orang diantaranya beragama Islam
(Ir. Soekarno, M. Hatta, Abikusno Tjokrosuyoso, Abdul Kahar Murzakir, Agus
Salim, Achmad Subardjo, KH. Wahid Hasyim, dan Muhammad Yamin). Meskipun ada
yang berlatarbelakang Ulama dan ada yang
dibesarkan melalui Sekolah Belanda, seperti Soekarno dan M. Hatta, tetapi hal
itu telah membuktikan, bahwa lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 merupakan jerih
payah para pejuang dan tokoh Islam.[11]
Ungkapan istilah Yang Maha Esa merupakan implikasi dari tauhid yang
menjadi jiwa agama Islam. Indonesia menjadi dasar yang kuat dari akidah tauhid,
sebagaimana ditegaskan dalam pasal 29 ayat 2: “Negara berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa” dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan
kepercayaan itu”.
Dari penegasan pasal itu dapat disimpulkan bahwa meskipun Negara
berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi bukan merupakan Negara agama,
karena rakyat diberi kebebasan beragama, dan bukan pula Negara sekuler. Dengan
demikian, tiap-tiap agama di Indonesia dapat berkembang dengan bebas, namun
masih terikat dengan wadah Negara Republik Indonesia. Adanya berbagai macam
agama tidak menghambat kesatuan dan persatuan.[12]
Bukti lain dari pengaruh Islam tercermin dari diri Bung Karno bahwa
begitu kental menyebut takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menghormati
agama-agama lain, agar bertuhan menurut agamanya masing-masing, juga
menyebutkan bahwa “Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini,
sesuai dengan itu, bahwa : Prinsip kelima daripada Negara kita ialah Ketuhanan
yang berkebudayaan, ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, ketuhanan yang
hormat menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara
menyetujui bahwa Negara Indonesi merdeka berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Hal
tersebut diletakkan sebagai sila yang pertama. Sila I memiliki prinsip teologi
yang menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah homo-religiosi, bangsa
yang beragama. Meskipun nilai ketuhanan merupakan hal yang harus dijunjung
tinggi, bangsa Indonesia tidak hidup dalam situasi yang bersifat teologi
semata. Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa betapa besar pengaruh Islam
terhadap diri Bung Karno dan sekaligus terhadap lahirnya sila yang pertama dari
Pancasila.[13]
Peristiwa ini menunjukkan, umat Islam telah memahami akan arti persatuan
sebagai syarat mutlak bagi tarbinanya kemaslahatan seperti halnya “Piagam
Madinah” yang dibuat oleh Rasul karena adanya suatu pertimbangan bahwa “sesuatu
yang tidak dapat dicapai seluruhnya, tidak boleh ditinggalkan”, dan juga atas
pertimbangan “kemaslahatan yang general didahulukan atas kemaslahatan special”.
Kemaslahatan umum di sini ialah menegakkan berdirinya RI,
berdaulatan yang berdasarkan Pancasila, prinsip-prinsip yang dapat ditampung
kebenarannya oleh Al-Qur’an dan Sunnah, dan memberikan landasan kuat
terlaksananya ajaran-ajaran Islam, sedang kemaslahatan khusus ialah cita-cita kaum muslim untuk mendirikan
masyarakat yang seutuhnya diatur oleh Al-Qur’an dan Sunnah.[14]
Dengan
demikian, jelaslah begitu besar sumbangan umat Islam terhadap penyusunan
Undang-Undang Dasar Negara, sehingga lahirlah kemerdekaan Indonesia secara utuh
dan sehingga kemerdekaannya dapat kita nikmati hingga sekarang. Dan kita
sebagai generasi muda patut mengapresiasi atas perjuangan tokoh-tokoh Islam
dalam memperjuangan kemerdekaan.
DAFTAR PUSTAKA
Al
Marsudi, Subandi, 2006, Pancasila dan UUD 45 Dalam Paradima Reformasi, Jakarta:
Rajagrafindo Persada
Departeman
Agama RI, 2000, Sejarah Kebudayaan Islam, jilid III, Jakarta: Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama,
Hardjono, 2009, Legitimasi Perubahan Konstitusi, Yogyakata:
Pustaka Pelajar
Karim,
M. Abdul, 2004, Menggali Muatan Pancasila Dalam Perspektif Islam, Jogyakarta:
Surya Raya
----------------------, 2007, Islam Nusantara, Yogyakarta:
Pustaka Book Publisher
Sunanto, Musyrifah, 2010, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta:
Rajagrafinda Persada
Syukur, Fatah,2009, Sejarah Peradaban Islam, Semarang:
Pustaka Rizki Putra
Yatim, Badri, 2008, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada
[1]Departeman
Agama RI, Sejarah Kebudayaan Islam, jilid III, (Jakarta: Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 2000), hlm. 15
[2] Hardjono, Legitimasi
Perubahan Konstitusi, (Yogyakata:Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 65
[3]Subandi Al
Marsudi, Pancasila dan UUD 45 Dalam Paradima Reformasi, (Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2006), hlm. 19
[4]Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2008), hlm. 264
[5]Musyrifah
Sunanto, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajagrafinda Persada, 2010),
hlm. 52
[6]Subandi Al
Marsudi, Pancasila dan UUD 45 Dalam Paradima Reformasi, hlm. 25
[7]Fatah Syukur, Sejarah
Peradaban Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,2009), hlm. 241
[8]M. Abdul Karim,
Menggali Muatan Pancasila Dalam Perspektif Islam, (Jogyakarta: Surya
Raya, 2004), hlm. 67
[9] Departemen
Agama RI, Sejarah Kebudayaan Islam, jilid III, hlm. 16
[10] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, hlm. 267
[11]
Departemen
Agama RI, Sejarah Kebudayaan Islam, jilid III, hlm. 16-17
[12]M. Abdul Karim,
Menggali Muatan Pancasila Dalam Perspektif Islam, hlm. 65-66
[13]
M. Abdul Karim,
Islam Nusantara, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hlm. 92-94
[14]M. Abdul Karim,
Islam Nusantara, hlm. 102-104
Tidak ada komentar:
Posting Komentar