Rabu, 29 Mei 2013

makalah



PERMAINAN ILEGAL
 (Zina, Homoseksual, Lesbian, dan Onani)
I.    PENDAHULUAN
Perzinaan merupakan salah satu perbuatan yang menyalahi hukum, sehingga hasil perbuatan tersebut membawa efek bukan hanya bagi si pelakunya, tetapi juga menyangkut pihak lain, dalam hukum Islam perbuatan zina merupakan perbuatan yang keji sehingga harus di hukum dengan berat karena merusak sistem kemasyarakatan dan mengancam keselamatannya. Zina merupakan pelanggaran atas sistem kekeluargaan, sedangkan keluarga merupakan dasar untuk berdirinya masyarakat. Membolehkan zina berarti membiarkan kekejian dan hal ini dapat meruntuhkan masyarakat.
Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai bagaimana pandangan Fiqih Jinayah terhadap segala unsur perzinaan, sehingga dapat diambil pelajaaran dan hikmah dari pembahasan tersebut.

II. RUMUSAN MASALAH
A.       Bagaimana Pandangan Fiqih Jinayah terhadap Perzinaan?
B.       Bagaimana Pandangan Fiqih Jinayah terhadap Homoseksual dan Lesbian?
C.       Bagaimana Pandangan Fiqih Jinayah terhadap Onani?
III.   PEMBAHASAN
A.  Pandangan Fiqih Jinayah terhadap Perzinaan
Had zina berbeda menurut pelakunya. Pelaku zina dalam hukum pidana Islam dibedakan menjadi dua bagian, ayitu pelaku muhshan dan ghoiru muhshan. Muhshan adalah seseorang yang telah menikah dengan ikatan nikah yang sah, merdeka, balig, dan berakal. Sedangkan ghoiru muhshan adalah seseorang yang belum pernah menikah secara sah.
Had zina bagi pelaku ghairu muhshan adalah didera sebanyak seratus kali, diasingkan dari negerinya selama satu tahun. Had ini berlaku bagi laki-laki maupun perempuan. Hanya saja, apabila pengasingan dari negerinya dapat mendatangkan madharat bagi wanita, maka ia tidak diasingkan.sebagaimana:
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (Q.S An-Nur: 2)
       
Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah SAW. melakukan pemukulan dan pengasingan terhadap pezina ghairu muhshan, Abu Bakar juga melakukan pemukulan dan pengasingan terhadap pezina ghairu muhshan, dan Umar bin Khattab juga melakukan pemukulan dan pengasingan terhadap pezina ghairu muhshan”.[1]
Selanjutnya, bagi orang yang sudah menikah (muhshan) hukumannya menurut para ahli hukum Islam adalah rajam (dilempari batu) sampai mati.[2] Hukuman ini didasarkan pada hadits Nabi:
خذوا عنّي قد جعل اللّه لهنّ سبيلا البكر بالبكر جلد مائة و نفي سنة والثّيّب بالثّيّب جلد مائة والرجم
Ketahuilah, sesungguhnya Allah telah memeberikan jalan untuk mereka. untuk jejaka dan perawan dihukum dengan seratus kali pukulan dan diasingkan setahun lamanya. Dan untuk janda dan duda dihukum dengan pukulan seratus kali dan rajam. (H.R. Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi)

Jika pelaku zina adalah budak, ia didera setengah dari orang merdeka, yaitu lima puluh dera. Ia tidak diasingkan karena dapat mendatangkan kerugian bagi pemiliknya.[3]
Para Ulama’ telah sepakat atas keharaman bersetubh dengan hewan (bertialiti). Akan tetapi mereka masih berbeda pendapat dalam menentukan hukuman atas orang yang bersetubuh dengan hewan tersebut.
Diriwayatkan dari Jabir bi Zaid bahwa Ia berkata “Barang siapa bersetubuh dengan hewan maka dia harus di hadd.”
Diriwayatkan dari Ali bahwa Ia berkata: “Jika yang bersetubuh dengan hewan itu orang muhsan, maka ia harus di rajam.”
Diriwayatkan dari Hasan bahwa bersetubuh dengan hewan  itu sama dengan berzina.
Abu Hanifah, Malik, Syafi’i (dalam satu pendapat), Muayyad Billah, Nashir, dan Imam Yahya mengatakan bahwa orang yang bersetubuh dengan hewan hanyalah wajib diberi sanksi saja. Karena perbuatan itu bukan perbuatan zina.
Akan tetapi Imam Syafi’i (dalam pendapat yang lain) mengatakan bahwa orang yang berhubungan kelamin dengan hewan harus dibunuh. Pendapat ini berdasarkan pada Hadits dengan sanad Amr bin Abi Amr, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ وَقَعَ عَلَى بَهِيْمَةٍ فَاقْتُلُوْهُ وَاقْتُلُوْا الْبَهِيْمَةَ
“Barang siapa berhubungan kelamin dengan hewan, maka bunuhlah ia dan bunuhlah (pula) hewannya”.

Dalam kitab Al-Bahr disebutkan bahwa hewan yang disetubuhi itu harus dibunuh, meskipun termasuk jenis hewan yang dagingnya haram dimakan. Ini dikerjakan agar hewan tersebut tidak menurunkan anak yang mempunyai kelainan, sebagaimana suatu cerita tentang seorang gembala yang berhubungan kelamin dengan hewan, kemudian hewan tersebut menurunkan anak yang mempunyai kelainan.[4]
B.  Pandangan Fiqih Jinayah terhadap Homoseksual dan Lesbian
Istilah homoseksual berasal dari Bahasa Inggris “Homosexsual”, yang berarti sifat laki-laki yang senang berhubungan seks dengan sesamanya. Sedangkan lesbian, berarti sifat perempuan yang senang berhubungan seks dengan sesamanya pula.
Istilah homoseksual dijumpai dalam agama Islam sebagai istilah اللِّوَاطُ  yang pelakunya disebut  اللُّوطِىُّ yang dapat diartikan secara singkat oleh bangsa Arab  dengan perkataan: الرَّجُلُ يَأْتِى الرَّجُلَ (laki-laki mengumpuli laki-laki lain). Sedangkan istilah lesbian, juga dijumpai dalam agama Islam sebagai istilah السَّحَاقُ yang pelakunya disebut السَّاحِقُ yang dapat diartikan secara singkat oleh bangsa arab dengan perkataan المَرْأَةُ تَأْتِى المَرْأَةَ (perempuan mengumpuli perempuan lain).
Maka dalam hal ini, dapat ditarik suatu pengertian, bahwa homoseksual adalah kebiasaan seorang laki-laki melampiaskan nafsu seksualnya pada sesamanya. Sedangkan lesbian adalah kebiasaan seorang perempuan melampiaskan nafsu seksualnya pada sesamanya pada sesamanya pula.[5]
Para ahli hukum fiqih sekalipun telah sepakat mengharamkan homoseksual, tetapi mereka berbeda pendapat tentang hukumannya.
1)   Pendapat pertama antara lain Imam Syafi’i, pasangan homoseksual dihukum mati, berdasarkan hadits Nabi, riwayat Khomsah (lima ahli hadits kecuali An-Nasa’i) dari Ibnu Abbas:
مَنْ وَجَدْ تُمُوْهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوْطٍ فَاقْتُلُوْا اْلفَاعِلَ وَاْلمَفْعُوْلَ بِهِ
“Barang siapa menjumpai orang yang berbuat homosek seperti praktek kaum Luth, maka bunuhlah si pelaku dan yang diperlakukannya (pasangannya).

Menurut Al-Mundziri, Kholifah Abu Bakar dan Ali pernah menghukum mati terhadap pasangan homosek.
2)   Pendapat kedua antara lain Al-Auzai, Abu Yusuf dan lain-lain, hukumannya disamakan dengan hukuman zina, yakni hukuman dera dan pengasingan untuk yang belum kawin, dan dirajam untuk pelaku yang sudah kawin, berdasarkan Hadits Nabi:
إِذَا أَتَى الرَّجُلُ الرَّجُلَ فَهُمَا زَانِيَانِ
“apabila seorang pria melakukan hubungan seks dengan pria lain, maka kedua-duanya adala berbuat zina.”

Pendapat kedua ini sebenarnya memakai qiyas di dalam menetapkan hukumannya.
3)   Pendapat ketiga antara lain Abu Hanifah, pelaku homosek dihukum takzir, sejenis hukuman yang bertujuan edukatif, dan besar ringannya hukuman tajzir diserahkan kepada pengadilan (hakim). Hukuman takzir dijatuhkan terhadap kejahatan atau pelanggaran yang tidak ditentukan macam dan kadar hukumannya oleh Nash Al-Qur’an dan Hadits.[6]
Mengenai perbuatan lesbian, para ahli fiqih juga sepakat menharamkanny, berdasarkan Hadits Nabi riwayat Ahmad, Abu Daud, Muslim dan Al-Tirmidzi:
لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ اِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلَاالْمَرْأَةُ اِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلَا يَغُضُّ الرَّجُلُ اِلَى الرَّجُلُ فِيْ الثَّوْبِ الْوَاحِدِ وَلَا تَغُضُّ الْمَرْأَةُ اِلَى الْمَرْاَةِ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ.
“Lelaki tidak boleh melihat aurat lelaki, perempuan tidak boleh melihat aurat perempuan. Lelaki tidak boleh berkumpul dengan lelaki lain dalam satu kain, perempuan juga tidak boleh berkumpul dengan perempuan lain dalam satu kain.

Menurut Sayid Sabiq, lesbian ini dihukum takzir, suatu hukuman yang macam dan berat ringannya  diserahkan kepada pengadilan. Jadi hukumannya lebih ringan dari pada homoseksual karena bahaya atau resikonya lebih ringan dibandingkan dengan bahaya homoseksual, karena lesbian itu bersentuhan langsung tanpa memasukkan alat kelaminnya seperti halnya seorang pria bersentuhan langsung (pacaran) dengan wanita bukan istrinya tanpa memasukkan penisnya ke dalam vagina. Perbuatan semacam ini tetap haram, sekalipun bukan zina, tetapi dapat dikenakan hukuman takzir seperti lesbian.[7]
Praktek homoseksual itu terjadi semenjak dahulu kala hingga sekarang ini. Tetapi praktek lesbian tidak keterangannya dalam Al-Qur’an, namun hingga sekarang ini meraja lela di masyarakat sekuler atau Negara Barat.
   Praktek tersebut tidak dilarang oleh undang-undang di Negara yang berfaham sekuler, dan tidak dikategorikan sebagai pelanggaran tata susila. Dan kalau pun ada larangan bagi mereka, itu hanya bertujuan untuk memberantas kemungkinan terjadinya beberapa macam penyakit yang sering timbul dari praktek homoseksual dan lesbian, misalnya penyakit kanker kelamin, AIDS dan sebagainya. Oleh karena itu, praktek homoseksual dan lesbian paling menonjol di Negara Barat, yang resiko penyakit yang ditimbulkannya, sampai menular ke Negara Timur, lewat touris-touris mereka.[8]
C.  Pandangan Fiqih Jinayah terhadap Onani
Istilah masturbasi berasal dari bahasa Inggris “masturbation”. Dan juga dibicarakan oleh ahli hukum Islam, yang disebutnya sebagai istilah al-istimnau (الإِسْتِمْنَاءُ), yang berarti onani atau perancapan. Kata ini, sebenarnya berasal dari isim (kata benda) Al-maniu (المَنِيُّ) air mani, kemudian dialihkan menjadi fi’il (kata kerja) إِسْتِمْنَى- يَسْتَمْنِى, lalu menjadi  إِسْتِمْنَاءًyang berarti mengeluarkan air mani. Tetapi sebenarnya pengertiam masturbasi (onani), adalah mengeluarkan air mani dengan cara menggunakan salah satu anggota badan (misalnya tangan), untuk mendapatkan kepuasan seks.
Ulama hukum Islam berbeda pendapat dalam menetapkan kepastian hukum tentang perbuatan masturbasi, karena mereka berbeda tinjauan dalam memandang hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya perbuatan tersebut. Maka berikut ini dapat dikemukakan beberapa macam pendapat Ulama’ Hukum, yaitu:
a.    Pengikut Madzhab Malikiyah, Syafiiyah dan Zaidiyah, mengatakan: perbuatan masturbasi hukumnya haram, karena Allah SWT memerintahkan agar selalu menjaga alat kelaminnya supaya tidak tersalurkan ke jalan yang haram. Pendapat ini didasarkan pada tiga ayat yang berbunyi mu’minun ayat 5,6,7.
tûïÏ%©!$#ur öNèd öNÎgÅ_rãàÿÏ9 tbqÝàÏÿ»ym ÇÎÈ   žwÎ) #n?tã öNÎgÅ_ºurør& ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNåkß]»yJ÷ƒr& öNåk¨XÎ*sù çŽöxî šúüÏBqè=tB ÇÏÈ   Ç`yJsù 4ÓxötGö/$# uä!#uur y7Ï9ºsŒ y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrߊ$yèø9$# ÇÐÈ  
 Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya (5), kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa (6) Barangsiapa mencari yang di balik itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas (7)

b.    Pengikut Madzhab Hanabilah, mengatakan: perbuatan masturbasi hukumnya haram dan diperbolehkan dalam agama bila seseorang bermaksud untuk terhindar dari dorongan libido yang mengarah pada perzinaan.
c.    Imam Ibnu Hazm, mengatakan: perbuatan masturbasi hukumnya makruh, dan kalau dilakukannya karena menghindari perbuatan zina misalnya maka agama membolehkannya, asalkan dilakukan dengan menggunakan tangan kiri. Pendapat ini didasarkan pada pendapat para sahabat dan tabiin antara lain:
1)   Ibnu Umar dan Athaa menetapkan hukumnya makruh
2)   Ibnu Abas, al-Hasan dan beberapa Ulama’ pembesar tabiin hukumnya boleh.
d.   Pengikut Madzhab Hanafiah, mengatakan: perbuatan masturbasi pada prinsipnya haram, tetapi kadang-kadang wajib bila dilkukan untuk menghindari perbuatan zina. Karena upaya menghindari perbuatan tersebut hukumnya wajib.[9]


IV.             KESIMPULAN
Pelaku zina dalam hukum pidana Islam dibedakan menjadi dua bagian, yaitu pelaku muhshan dan ghoiru muhshan. Muhshan adalah seseorang yang telah menikah dengan ikatan nikah yang sah. Sedangkan ghoiru muhshan adalah seseorang yang belum pernah menikah secara sah.
Had zina bagi pelaku ghairu muhshan adalah didera sebanyak seratus kali, diasingkan dari negerinya selama satu tahun. Sedangkan bagi orang yang sudah menikah (muhshan) hukumannya menurut para ahli hukum Islam adalah rajam (dilempari batu) sampai mati.
Para Ulama’ telah sepakat atas keharaman bersetubuh dengan hewan (bertialiti). Akan tetapi mereka masih berbeda pendapat dalam menentukan hukuman atas orang yang bersetubuh dengan hewan tersebut.
Homoseksual berarti sifat laki-laki yang senang berhubungan seks dengan sesamanya. Sedangkan lesbian, berarti sifat perempuan yang senang berhubungan seks dengan sesamanya pula. Para ahli hukum fiqih sekalipun telah sepakat mengharamkan homoseksual, tetapi mereka berbeda pendapat tentang hukumannya. Mengenai perbuatan lesbian, para ahli fiqih juga sepakat menharamkannya.
Masturbasi (onani), adalah mengeluarkan air mani dengan cara menggunakan salah satu anggota badan (misalnya tangan), untuk mendapatkan kepuasan seks. Ulama hukum Islam berbeda pendapat dalam menetapkan kepastian hukum tentang perbuatan masturbasi, karena mereka berbeda tinjauan dalam memandang hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya perbuatan tersebut.

V.  PENUTUP
Demikian makalah ini kami buat. Kami menyadari dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Aibak, Kutbuddin, Kajian Islam Kontemporer, Yogyakarta: Teras, 2009
Al-Faruq, Abdulloh , Hukum Pidana Dalam Hukum Islam, Bogor: Ghalia Indonesia, 2009
Mahjudin, Masailul Fiqhiyah, Jakarta: Kalam Mulia, 1990
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Bandung: Al-Ma’arif,t.th
Santoso, Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2003
Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyah, Jakarta: Haji Masagung, 1991



[1] Abdulloh Al-Faruq, Hukum Pidana Dalam Hukum Islam, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), hlm. 60
[2] Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. 24
[3] Abdulloh Al-Faruq, Hukum Pidana Dalam Hukum Islam, hlm. 60
[4] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung: Al-Ma’arif,t.th), hlm. 139-140
[5] Mahjudin, Masailul Fiqhiyah, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), hlm. 19-20
[6] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Haji Masagung, 1991), hlm. 43-44
[7] Kutbuddin Aibak, Kajian Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 99
[8] Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah, hlm. 24
[9] Mahjudin, Masailul Fiqhiyah, hlm. 26-28