Jumat, 21 Februari 2014

Review Buku “Ritual dan Tradisi Islam Jawa”



Review Buku “Ritual dan Tradisi Islam Jawa”
Oleh: K.H. Muhammad Sholikhin

Siklus kehidupan, yang mencakup kehamilan, kelahiran, pernikahan, dan kematian merupakan momentum yang sangat penting bagi manusia. Islam melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah, sangat memperhatikan proses-proses penting yang berhubungan dengan siklus kehidupan tersebut. Bagi kalangan Islam Jawa, siklus tersebut adalah mercusuar perjalanan hidup manusia, baik fisik maupun rohani. Oleh karena itu, kalangan muslim Jawa mengakomodasikan antara dasar ajaran Islam dengan ajaran luhur Jawa dalam melaksanakan ritual yang terkait dengan siklus ritual tersebut. Adanya berbagai ritual dan tradisi yang dilaksanakan secara Islami oleh umat Islam di Jawa, justru menjadikan ajaran Islam menjadi kuat ketika ia telah mentradisi dan membudidaya di tengah kehidupan masyarakat, di mana esensi ajarannya sudah masuk dalam tradisi masyarakat setempat. Inilah yang terjadi antara Islam dan Jawa, kemudian membentuk gugus budaya Islam Jawa.
Dalam buku yang berjudul “Ritual dan Tradisi Islam Jawa” termuat bab-bab yang menerangkang tentang ritual dan tradisi masyarakat Islam Jawa dari kehamilan, kelahiran, pernikahan sampai kematian.
Seperti halnya dari Kelahiran ada Ngupati atau Ngapati, Nglimani, Mitoni atau tingkeban, Nyangani, Brokohan (selamatan kelahiran bayi, pada hari bayi lahir), Sepasaran (selamatan hari ke-5 kelahiran bayi, pemberian nama dan aqiqah. Biasanya disertai dengan Kenduri dan bancakan), Puputan (selamatan setelah sisa tali pusar lepas atau jauh), Selapanan (selamatan hari ke-35 dar kelahiran bayi, hari memperbagus fisik sang bayi, biasanya disertai kenduri dan bancakan), Tedhak Siti (selamatan anak usia 7 lapan atau 245 hari atau 7 x 35 hai. Doa kepada Allah agar anak menjadi anak yang jujuur, ahli ibadah, senang kepada ilmu, dermawan dan etos kerja tinggi), setahunan.
Sedangkan dalam perkawinan tradisi dan ritualnya adalah Kumbakarnan (selamatan setelah menusyawarahkan segala hal yang akan dilaksanakan terkait dengan upacara pernikahan. Umumnya dilaksankan 7 hari sebelum acara di rumah yang akan menggelar hajat), Pasang Tarub (selamatan diadakan pada malam 2 atau 1 hari sebelum upacara yakni mempersiapkan tempat acara), Midadareni dan Majemukan (ritual dan selamatan malam upacara, sekalius pelaksanaan tebusan kembar mayang. Calon pengantin laki-laki “nyantri” di rumah calon istri (tradisi warisan Nabi Musa di rumah mertuanya Nabi Syu’aib). Setelah penebuan kembar mayang, diadakan selamatan majemuk, mendoakan keelamatan semua yang akan dilaksanakan), Selamatan Walimahan (selamatan yang dilaksanakan pada saat sesudah ijab qabul atau setelah upacara perkawinan), Sepasaran Manten (selamatan yang dilaksanakan pada hari ke-5 dari ijab dan qabul).
Dan yang terakhir saat kamatian adalah Surtanah (ritual setelah mayat dikebumikan, agar ruhnya mendapat tempat baik di sisi Allah), Nelung Dina (selamatan hari ketia dari kematian, untk memohon ampunan kepada Allah, memperoleh jalan teran menuju Allah), Mitung Dina (selamatan hari ke-7 sesudah wafat. Berdoa agar ruh mayat mendapat jalan terang menuju Allah, dan bermakna menympurnakan kulit, rambut, dan kuku jenazah), Matang Puluhan (selamatan hari ke-40 dari wafat. Biasanya disetai dengan khataman Al-Qur’an. Tujuannya mendoakan agar ruh yang meninggal dpt diterima Allah sesuai dengan amal kebaikannya), Nyatus Dina (selamatan yang diadakan pada hari ke-100 dari hari wafatnya, tujuannya sama dengan  selamatan hari ke-40 dan juga untuk menyempurnakan yang bersifat badani), Mendhak Pisan (peringatan satu tahun pertama dari kematian. Tujuannya dalah untuk memintakan ampunan bagi ruh orang yang meinggal, juga berakna menyempurnakan semua anasir fisik selain tulang), Mendhak Pindho (peringatan dua tahun dari wafat, tujuannya sama denan mendhak pisan, juga bermakna menyempurnakan anasir rasa dan bau menjadi lenyap), Nyewu Dina (adalah purna upacara bagi orang yang sudah meninggal pada hai ke-100), dan Haul atau Kol (selamatan peringatan tahunan bagi orang yang sudah meninggal. Dilaksanakan pada hari (dan pasaran) dan bulan wafat. Intinya adalah doa memohon ampunan dari semua salah dan dosa, serta mendoakan keselamatan perjalanan ruh di alam akhirat).
Dalam penghayatan terhadap berbagai fenomena siklus kehidupan manusia tersebut, dan hubungannya dengan Allah, maka konteks tradisi Islam di Indonesia, pada saat-saat tertentu sebagai bentuk “mengingatkan” kembali (pengetan/ peringatan), terdapat berbagai bentuk tradisi yang disebut “selamatan (slametan/wilujengan), kenduri atau shadaqahan (sedekahan). Inti dari peringatan tersebut adalah mengingatkan kembali tentang jatidiri manusia yang dikehendaki oleh Allah menjadi baik di dunia dan akhirat, serta mengingatkan akan posisinya terhadap Allah. Sehingga belajar dari ritual-ritual tersebut, semangat beribadah semakin terpacu, hidup dalam kondisi yang optimis, karena selalu memiliki harapan kepada pertemuan dengan Tuhan dan dalam kehidupannya selalu berusaha secara maksimal agar dapat mendatangkan kebaikan dalam bentuk memperbanyak shadhaqah dan amal shalih.
Dalam buku yang berjudul “Ritual dan Tradisi Islam Jawa” ada hal yang menarik untuk dibahas selain berbagai ritual dan tradisi yang dilakukan Isam Jawa, yaitu tentang Kejadian Manusia dan Proses Terbentuknya Janin, yang di dalamnya termuat sub bab yang sangat menggelitik yaitu:”Menguak Tabir Manusia Generasi Pertama” dalam sub bab tersebut dijelakan bahwa sosok manusia Adam secara biologis bukanlah manusia pertama yang ditentukan oleh Allah mendiami bumi. Sebelumnya sudah pernah ada generasi manusia yang mendiami bumi, namun selalu membuat kerusakan dan selalu sering berperang dan menumpahkan darah, sehingga mereka kemudian diberikan bencana oleh Allah, yang membuatnya musnah di planet bumi. Merekalah yang kemudian disebut sebagai penghuni di perut bumi (Banul Jann). Maka wajar, walaupun usia Adam sampai saat ini baru sekitar 100.000 tahun, namun sudah ditemukan berbagai fosil tengkorak manusia yang berusia jutaan tahun, yang sebenarnya berasal dari manusia generasi pertama secara biologis, yakni sebelum Adam di muka bumi. Mereka selalu membuat kerusakan dan menumpahkan darah, karena keterbatasan akalnya. Sementara manusia Adam disebut sebagai manusia pertama di bumi, dalam konteks sebagai manusia “yang berakal” dan sebagai manusia biologis, adalah manusia generasi kedua yang mendiami planet bumi. Pada zaman Nabi Nuh, terjadi banjir bandang yang melanda dunia, yang menghapuskan ras manusia generasi kedua, kecuali sekitar 80 dari Nabi Nuh dan umatnya, yang kemudian berkembang biak sampai sekarang menjadi manusia generasi ketiga penghuni planet bumi.
Informasi tersebut dapat kita telusuri dari ayat Al-Qur’an, yakni ketika Allah membicarakan akan diciptakannya makhluk manusia sebagai penghuni bumi. Pada saat itulah para Malaikat menyatakan, “Apakah Engkau akan menciptakan makhluk yang hanya akan menumpahkan darah dan merusak bumi?(Q.S. Al-Baqarah: 30). Pernyataan para malaikat ini menunjukkan bahwa memang para malaikat sudah pernah menyaksikan adanya makhluk sejenis manusia yang menghuni bumi, namun mereka suka menumpahkan darah dan berbuat kerusakan di bumi. Jadi kesimpulannya adalah bahwa Nabi Adam merupakan manusia berakal budi pertama di dunia, bukan manusia biologis pertama. Manusia biologis pertama adalah manusia sejenis monyet, yang diantaranya adalah Pithecanthropus Erectus.
Namun dari keterang tersebut dapat menimbulkan sebuah pertanyaan, terkesan percaya tidak percaya, ini bisa diindikasikan sebagai penguat atas teori Darwin yang mengatakan nenek moyang manusia adalah sejenis monyet, yang padahal sekarang ini teori tersebut sudah di hapuskan.
 Dalam salah satu paragraf yang lain tertulis bahwa secara arkeologis, ditemukan berbagai fakta, bahwa banyak fosil-fosil sejenis manusia yang kemudian diketemukan, dan usianya sudah mencapai ratusan juta tahun. Sementara kehadiran Nabi Adam di bumi, hanya antara puluhan sampai ratusan ribu tahun. Kalaupun penulis pernah mengemukakan asumsi jutaan tahun, maka hal itu memang baru asumi yang belum ada buktinya. Ini bisa dijadikan kelemahannya karena dari penulis sendiri hanya mengunakan asumsi, bukan data yang konkrit.
Dan ada lagi dari bab yang lain mengenai Makna Simbolis Selamatan dan Ritual dalam Islam Jawa, yang dalam sub babnya termuat Makna Simbolik “Sesaji” (Sedekahan dan Selamatan) Ritual dalam Islam Jawa, diterangkan bahwa pembakaran kemenyan pada saat ritual mistik dilaksanakan oleh masyarakat Jawa diyakini sebagai bagian dari penyembahan kepada Tuhan secara khusyu’ (mencapai tahap hening) dan tadharru’ (mengosongkan diri kemanusiaan sebagai hal yang tidak berarti dihadapan Tuhan), atau sebagai bentuk akhlak penghormatan kepada Tuhan. Membakar kemenyan itu biasanya diniatkan sebagai “talining iman, urubing cahya kumara, kukuse ngambah swarga, ingkang nampi Dzat ingkang Maha Kuwaos” (sebagai tali pengikat keimanan, nyalanya diharapkan sebagai cahaya kumara, asapnya diharapkan sebagai bau-bauan surga, dan agar dapat diterima oleh Tuhan Yang Maha Kuasa).
Memerhatikan niat tersebut, maka dapat dipahami bahwa pembakaran kemenyan dalam ritual mistik sebagian kaum muslim Jawa, atau memasukkannya sebagai unsur mistik bukanlah laku yang musyrik, seperti yang dituduhkan oleh sebagian muslim yang merasa lebih puritan atau sebutlah kearab-araban. Pada zaman Nabi Ibrahim AS. juga sudah ada kebiasaan membakar kemenyan. Untuk zaman Nabi Muhammad SAW, pembakaran kemenyan sering digantikan dengan menggunakan bau-bauan yang harum, yang dinyatakan sebagai “disukai oleh Allah”. Baik kemenyan maupun wangi-wangian esensinya sama, yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Dari pernyataan tersebut, di zaman sekarang hal itu bisa menimbulkan asumsi positif atau negatif dari berbagai kalangan, positif bagi kalangan yang memang mempercayai hal tersebut dan masih malakukan ritual pembakaran kemenyan tersebut yang beranggapan bahwa semua tergantung dari niatnya, namun bagi kalangan yang memandang negatif dikarenakan pembakaran kemenyan biasa dilakukan oleh orang-orang yang menganut agama kejawen, sedangkan Islam tidak mengajari hal tersebut, pemakaian wangi-wangian dan bau wangi kemenyan, menurut saya tidak bisa disamakan, karena pembakaran kemenyan lebih diindikasikan ke hal-hal mistis, sedangkan kalau ingin mendekatkan diri pada Allah ada cara yang lebih syar’i, yaitu dengan beribadah dengan khusyu’ kepada Allah SWT.

2 komentar:

  1. tentang tradisi kondangan ala jawa ada mbax ?

    mampir juga ke fakta-antik.blogspot.com

    BalasHapus
  2. assalmu'alaikum mbak, mau nanya, bukunya didapat diman yag kalo beli? trims

    kalo ada info tolong sms ke 085264878555 an. sofwan

    trims

    BalasHapus