Review Buku
“Ritual dan Tradisi Islam Jawa”
Oleh:
K.H. Muhammad Sholikhin
Siklus kehidupan, yang mencakup
kehamilan, kelahiran, pernikahan, dan kematian merupakan momentum yang sangat
penting bagi manusia. Islam melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah, sangat
memperhatikan proses-proses penting yang berhubungan dengan siklus kehidupan tersebut.
Bagi kalangan Islam Jawa, siklus tersebut adalah mercusuar perjalanan hidup
manusia, baik fisik maupun rohani. Oleh karena itu, kalangan muslim Jawa
mengakomodasikan antara dasar ajaran Islam dengan ajaran luhur Jawa dalam
melaksanakan ritual yang terkait dengan siklus ritual tersebut. Adanya berbagai
ritual dan tradisi yang dilaksanakan secara Islami oleh umat Islam di Jawa, justru
menjadikan ajaran Islam menjadi kuat ketika ia telah mentradisi dan membudidaya
di tengah kehidupan masyarakat, di mana esensi ajarannya sudah masuk dalam
tradisi masyarakat setempat. Inilah yang terjadi antara Islam dan Jawa,
kemudian membentuk gugus budaya Islam Jawa.
Dalam buku yang berjudul “Ritual
dan Tradisi Islam Jawa” termuat bab-bab yang menerangkang tentang ritual dan
tradisi masyarakat Islam Jawa dari kehamilan, kelahiran, pernikahan sampai
kematian.
Seperti halnya dari Kelahiran ada
Ngupati atau Ngapati, Nglimani, Mitoni atau tingkeban, Nyangani,
Brokohan (selamatan kelahiran bayi,
pada hari bayi lahir), Sepasaran
(selamatan hari ke-5 kelahiran bayi, pemberian nama dan aqiqah. Biasanya
disertai dengan Kenduri dan bancakan), Puputan
(selamatan setelah sisa tali pusar lepas atau jauh), Selapanan (selamatan hari ke-35 dar kelahiran bayi, hari
memperbagus fisik sang bayi, biasanya disertai kenduri dan bancakan), Tedhak Siti (selamatan anak usia 7
lapan atau 245 hari atau 7 x 35 hai. Doa kepada Allah agar anak menjadi anak
yang jujuur, ahli ibadah, senang kepada ilmu, dermawan dan etos kerja tinggi), setahunan.
Sedangkan dalam perkawinan
tradisi dan ritualnya adalah Kumbakarnan
(selamatan setelah menusyawarahkan segala hal yang akan dilaksanakan terkait
dengan upacara pernikahan. Umumnya dilaksankan 7 hari sebelum acara di rumah
yang akan menggelar hajat), Pasang Tarub
(selamatan diadakan pada malam 2 atau 1 hari sebelum upacara yakni
mempersiapkan tempat acara), Midadareni
dan Majemukan (ritual dan selamatan malam upacara, sekalius pelaksanaan
tebusan kembar mayang. Calon pengantin laki-laki “nyantri” di rumah calon istri
(tradisi warisan Nabi Musa di rumah mertuanya Nabi Syu’aib). Setelah penebuan
kembar mayang, diadakan selamatan majemuk, mendoakan keelamatan semua yang akan
dilaksanakan), Selamatan Walimahan
(selamatan yang dilaksanakan pada saat sesudah ijab qabul atau setelah upacara
perkawinan), Sepasaran Manten
(selamatan yang dilaksanakan pada hari ke-5 dari ijab dan qabul).
Dan yang terakhir saat kamatian
adalah Surtanah (ritual setelah
mayat dikebumikan, agar ruhnya mendapat tempat baik di sisi Allah), Nelung Dina (selamatan hari ketia dari
kematian, untk memohon ampunan kepada Allah, memperoleh jalan teran menuju
Allah), Mitung Dina (selamatan hari
ke-7 sesudah wafat. Berdoa agar ruh mayat mendapat jalan terang menuju Allah,
dan bermakna menympurnakan kulit, rambut, dan kuku jenazah), Matang Puluhan (selamatan hari ke-40
dari wafat. Biasanya disetai dengan khataman Al-Qur’an. Tujuannya mendoakan
agar ruh yang meninggal dpt diterima Allah sesuai dengan amal kebaikannya), Nyatus Dina (selamatan yang diadakan
pada hari ke-100 dari hari wafatnya, tujuannya sama dengan selamatan hari ke-40 dan juga untuk
menyempurnakan yang bersifat badani), Mendhak
Pisan (peringatan satu tahun pertama dari kematian. Tujuannya dalah untuk
memintakan ampunan bagi ruh orang yang meinggal, juga berakna menyempurnakan
semua anasir fisik selain tulang), Mendhak
Pindho (peringatan dua tahun dari wafat, tujuannya sama denan mendhak
pisan, juga bermakna menyempurnakan anasir rasa dan bau menjadi lenyap), Nyewu Dina (adalah purna upacara bagi
orang yang sudah meninggal pada hai ke-100), dan Haul atau Kol (selamatan peringatan tahunan bagi orang yang sudah
meninggal. Dilaksanakan pada hari (dan pasaran) dan bulan wafat. Intinya adalah
doa memohon ampunan dari semua salah dan dosa, serta mendoakan keselamatan
perjalanan ruh di alam akhirat).
Dalam penghayatan terhadap
berbagai fenomena siklus kehidupan manusia tersebut, dan hubungannya dengan
Allah, maka konteks tradisi Islam di Indonesia, pada saat-saat tertentu sebagai
bentuk “mengingatkan” kembali (pengetan/ peringatan),
terdapat berbagai bentuk tradisi yang disebut “selamatan (slametan/wilujengan), kenduri atau shadaqahan (sedekahan). Inti
dari peringatan tersebut adalah mengingatkan kembali tentang jatidiri manusia
yang dikehendaki oleh Allah menjadi baik di dunia dan akhirat, serta
mengingatkan akan posisinya terhadap Allah. Sehingga belajar dari ritual-ritual
tersebut, semangat beribadah semakin terpacu, hidup dalam kondisi yang optimis,
karena selalu memiliki harapan kepada pertemuan dengan Tuhan dan dalam
kehidupannya selalu berusaha secara maksimal agar dapat mendatangkan kebaikan
dalam bentuk memperbanyak shadhaqah dan amal shalih.
Dalam buku yang berjudul “Ritual
dan Tradisi Islam Jawa” ada hal yang menarik untuk dibahas selain berbagai
ritual dan tradisi yang dilakukan Isam Jawa, yaitu tentang Kejadian Manusia dan
Proses Terbentuknya Janin, yang di dalamnya termuat sub bab yang sangat
menggelitik yaitu:”Menguak Tabir Manusia Generasi Pertama” dalam sub bab tersebut
dijelakan bahwa sosok manusia Adam secara biologis bukanlah manusia pertama
yang ditentukan oleh Allah mendiami bumi. Sebelumnya sudah pernah ada generasi
manusia yang mendiami bumi, namun selalu membuat kerusakan dan selalu sering
berperang dan menumpahkan darah, sehingga mereka kemudian diberikan bencana
oleh Allah, yang membuatnya musnah di planet bumi. Merekalah yang kemudian
disebut sebagai penghuni di perut bumi (Banul
Jann). Maka wajar, walaupun usia Adam sampai saat ini baru sekitar 100.000
tahun, namun sudah ditemukan berbagai fosil tengkorak manusia yang berusia
jutaan tahun, yang sebenarnya berasal dari manusia generasi pertama secara
biologis, yakni sebelum Adam di muka bumi. Mereka selalu membuat kerusakan dan
menumpahkan darah, karena keterbatasan akalnya. Sementara manusia Adam disebut
sebagai manusia pertama di bumi, dalam konteks sebagai manusia “yang berakal”
dan sebagai manusia biologis, adalah manusia generasi kedua yang mendiami
planet bumi. Pada zaman Nabi Nuh, terjadi banjir bandang yang melanda dunia,
yang menghapuskan ras manusia generasi kedua, kecuali sekitar 80 dari Nabi Nuh
dan umatnya, yang kemudian berkembang biak sampai sekarang menjadi manusia
generasi ketiga penghuni planet bumi.
Informasi tersebut dapat kita
telusuri dari ayat Al-Qur’an, yakni ketika Allah membicarakan akan
diciptakannya makhluk manusia sebagai penghuni bumi. Pada saat itulah para
Malaikat menyatakan, “Apakah Engkau akan
menciptakan makhluk yang hanya akan menumpahkan darah dan merusak bumi?(Q.S.
Al-Baqarah: 30)”. Pernyataan para
malaikat ini menunjukkan bahwa memang para malaikat sudah pernah menyaksikan
adanya makhluk sejenis manusia yang menghuni bumi, namun mereka suka
menumpahkan darah dan berbuat kerusakan di bumi. Jadi kesimpulannya adalah
bahwa Nabi Adam merupakan manusia berakal budi pertama di dunia, bukan manusia
biologis pertama. Manusia biologis pertama adalah manusia sejenis monyet, yang
diantaranya adalah Pithecanthropus
Erectus.
Namun dari keterang tersebut
dapat menimbulkan sebuah pertanyaan, terkesan percaya tidak percaya, ini bisa
diindikasikan sebagai penguat atas teori Darwin yang mengatakan nenek moyang
manusia adalah sejenis monyet, yang padahal sekarang ini teori tersebut sudah
di hapuskan.
Dalam salah satu paragraf yang lain tertulis
bahwa secara arkeologis, ditemukan berbagai fakta, bahwa banyak fosil-fosil
sejenis manusia yang kemudian diketemukan, dan usianya sudah mencapai ratusan
juta tahun. Sementara kehadiran Nabi Adam di bumi, hanya antara puluhan sampai
ratusan ribu tahun. Kalaupun penulis pernah mengemukakan asumsi jutaan tahun,
maka hal itu memang baru asumi yang belum ada buktinya. Ini bisa dijadikan
kelemahannya karena dari penulis sendiri hanya mengunakan asumsi, bukan data
yang konkrit.
Dan ada lagi dari bab yang lain
mengenai Makna Simbolis Selamatan dan Ritual dalam Islam Jawa, yang dalam sub
babnya termuat Makna Simbolik “Sesaji” (Sedekahan dan Selamatan) Ritual dalam
Islam Jawa, diterangkan bahwa pembakaran kemenyan pada saat ritual mistik
dilaksanakan oleh masyarakat Jawa diyakini sebagai bagian dari penyembahan
kepada Tuhan secara khusyu’ (mencapai tahap hening) dan tadharru’ (mengosongkan diri kemanusiaan sebagai hal yang tidak
berarti dihadapan Tuhan), atau sebagai bentuk akhlak penghormatan kepada Tuhan.
Membakar kemenyan itu biasanya diniatkan sebagai “talining iman, urubing cahya kumara, kukuse ngambah swarga, ingkang
nampi Dzat ingkang Maha Kuwaos” (sebagai tali pengikat keimanan, nyalanya
diharapkan sebagai cahaya kumara, asapnya diharapkan sebagai bau-bauan surga,
dan agar dapat diterima oleh Tuhan Yang Maha Kuasa).
Memerhatikan niat tersebut, maka
dapat dipahami bahwa pembakaran kemenyan dalam ritual mistik sebagian kaum
muslim Jawa, atau memasukkannya sebagai unsur mistik bukanlah laku yang
musyrik, seperti yang dituduhkan oleh sebagian muslim yang merasa lebih puritan
atau sebutlah kearab-araban. Pada zaman Nabi Ibrahim AS. juga sudah ada
kebiasaan membakar kemenyan. Untuk zaman Nabi Muhammad SAW, pembakaran kemenyan
sering digantikan dengan menggunakan bau-bauan yang harum, yang dinyatakan
sebagai “disukai oleh Allah”. Baik kemenyan maupun wangi-wangian esensinya
sama, yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Dari pernyataan tersebut, di
zaman sekarang hal itu bisa menimbulkan asumsi positif atau negatif dari
berbagai kalangan, positif bagi kalangan yang memang mempercayai hal tersebut
dan masih malakukan ritual pembakaran kemenyan tersebut yang beranggapan bahwa
semua tergantung dari niatnya, namun bagi kalangan yang memandang negatif dikarenakan
pembakaran kemenyan biasa dilakukan oleh orang-orang yang menganut agama
kejawen, sedangkan Islam tidak mengajari hal tersebut, pemakaian wangi-wangian
dan bau wangi kemenyan, menurut saya tidak bisa disamakan, karena pembakaran
kemenyan lebih diindikasikan ke hal-hal mistis, sedangkan kalau ingin
mendekatkan diri pada Allah ada cara yang lebih syar’i, yaitu dengan beribadah
dengan khusyu’ kepada Allah SWT.
tentang tradisi kondangan ala jawa ada mbax ?
BalasHapusmampir juga ke fakta-antik.blogspot.com
assalmu'alaikum mbak, mau nanya, bukunya didapat diman yag kalo beli? trims
BalasHapuskalo ada info tolong sms ke 085264878555 an. sofwan
trims